Sejarah Agama Islam Lengkap
PENGERTIAN ISLAM
a. Arti Islam Menurut Istilah Dan Bahasa
Dari segi bahasa, Islam berasal dari kata
aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk
mashdar dari kata aslama. Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan
dengan asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, diantaranya
adalah:
1. Berasal dari ‘salm’ (السَّلْم) yang berarti damai.
Kata salm memiliki arti damai atau
perdamaian. Dan ini merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam,
yaitu bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia
pada perdamaian.
2. Berasal dari kata ‘aslama’ (أَسْلَمَ) yang berarti menyerah.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang
memeluk Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa
dan raganya hanya kepada Allah SWT. Penyerahan diri seperti ini ditandai
dengan pelaksanaan terhadap apa-apa yang Allah SWT perintahkan serta
menjauhi segala laranganNya. Oleh karena itulah, sebagai seorang Muslim,
hendaknya kita menyerahkan diri kita kepada aturan Islam dan juga
kepada kehendak Allah SWT. Karena Insya Allah dengan demikian akan
menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang (baca; mutma’inah).
3. Berasal dari kata istaslama–mustaslimun (اسْتَسْلَمَ – مُسْتَسْلِمُوْنَ): penyerahan total kepada Allah.
Makna ini sebenarnya sebagai penguat
makna di atas (poin kedua). Karena sebagai seorang Muslim, kita
benar-benar diminta untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga
serta harta atau apapun yang kita miliki, hanya kepada Allah SWT.
Dimensi atau bentuk-bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah SWT
adalah seperti dalam setiap gerak gerik, pemikiran, tingkah laku,
pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain
sebagainya hanya kepada Allah SWT. Termasuk juga berbagai sisi kehidupan
yang bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi,
pendidikan, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya, semuanya dilakukan
hanya karena Allah SWT dan menggunakan manhaj Allah SWT melalui
RasulNYA.
4. Berasal dari kata ‘saliim’ (سَلِيْمٌ) yang berarti bersih dan suci.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan
agama yang suci dan bersih, yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk
memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada
kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada
hakekatnya, ketika Allah SWT mensyariatkan ajaran Islam, adalah karena
tujuan utamanya untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia.
5. Berasal dari ‘salam’ (سَلاَمٌ) yang berarti selamat dan sejahtera.
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan
agama yang senantiasa membawa umat manusia pada keselamatan dan
kesejahteraan. Karena Islam memberikan kesejahteraan dan juga
keselamatan pada setiap insan yang dengan segenap hati mengikuti
syar’iatNYA.
Islam menurut bahasa, islam memiliki arti
; selamat, kedamaian, sentausa, sedangkan dalam istilah syar’i islam
berserah diri, tunduk patuh, dengan kesadaraan yang tinggi tanpa
paksaan. Sedangkan islam secara makna, maka akan menjadi sangat luas
jika dikaitkan dengan beberapa arti di atas. Makna dalam arti kata
selamat, maka islam adalah jalan hidup (way of life) satu-satunya yang
paling selamat mengantarkan manusia sampai tujuan akhirnya..yaitu
kehidupan akhirat. Dalam konteks perjalanan, tujuan hanya dapat dicapai
melalui jalan yang ditempuh. Sedangkan sebuah jalan, ia memiliki cara
dan aturan.
Makna berserah diri, adalah ketika
seseorang menyerahkan seluruh jalan hidupnya (tunduk patuh) sesuai
dengan aturan-aturan (syariat) dalam islam. Pendekatan untuk memahami
hal ini bisa kita pahami melalui uraian singkat berikut. Pada umumnya,
manusia itu akan mengikuti seseorang yang ia anggap lebih dari dirinya,
itu sebabnya, maka di dunia ini ada kegiatan belajar dan mengajar (murid
dan guru). Orang yang lebih rendah ilmuya, pasti akan mengikuti
seseorang yang lebih tinggi ilmunya. Kaidah ini adalah kaidah yang
universal, berlaku bagi setiap manusia. Marilah kita melihat hal ini
dalam konteks ilmu pengetahuan. Ketika ketinggian ilmu pengetahuan
manusia telah mencapai satu titik yang paling tinggi dari ilmunya, maka
pada titik puncaknya, manusia pasti akan menemukan kekuasaan dan
keagungan Allah sebagai pemilik ilmu sesuai yang sesuai dengan
sifat-Nya. Contohnya seperti para pakar dan ilmuwan dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan pada abad ini telah mengungkapkan fakta dari
kebenaran penelitian mereka, yang ternyata semuanya ada di dalam Al
Quran yang disampaikan oleh Rasulullah +/- 14 abad yang lalu.
Tidak ada paksaan sedikitpun bagi manusia
untuk masuk kedalam islam, tetapi sudah jelas mana jalan yang benar dan
mana jalan yang sesat, jalan yang selamat dan jalan yan celaka, sudah
jelas siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan..dengan catatan,
hal ini hanya berlaku bagi mereka yang mau mencari kebenaran yang
hakiki. Dengan pemahaman yang singkat ini, maka kita bisa melihat, di
dalam Al Quran, semua Nabi memilih islam (jalan yang selamat) sebagai
dien mereka untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan mereka, yaitu
kehidupan akhirat. Dien sering di artikan dengan arti agama, tetapi dien
memiliki makna yang lebih luas dari pada sekedar ritual saja, dien bisa
kita maknai dengan ‘the way of life’ (cara seseorang menjalankan
kehidupannya). Dan dien yang diridhoi di sisi Allah adalah ISLAM tidak
ada dien yang diterima oleh Allah selain itu, sebagaimana firman-Nya;
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu)…” (Ali Imran: 85).
b. Arti Islam Menurut Beberapa Para Ahli
Agama bagi kehidupan manusia menjadi
pedoman hidup (way of life). Islam merupakan agama dengan penganut
mayoritas di Indonesia. Bila dilihat dari sumbernya, Islam termasuk
agama samawi. Yaitu agama yang diterima oleh manusia dari Allah SWT
melalui malaikat JIbril dan disampaikan serta disebarkan oleh RasulNya
kepada umat manisa. Berikut ini adalah pengertian dan definisi Islam
menurut beberapa ahli:
1. George SartonIslam merupakan tatanan agama yang paling tepat sekaligus paling indah
2. Tolstoi
Islam merupakan ringkasan agama yang
dikumandangkan Muhammad dan menyatakan bahwa Allah itu satu, tiada Tuhan
selain Dia. Sehingga tidak dibenarkan menyembah banyak Tuhan.
3. Leodourch
Sesungguhnya Islam itu adalah agama kemanusiaan alami, ekonomis dan sekaligus moralis
4. Massignon
Islam merupakan agama yang memiliki
keistimewaan, bahkan Islam sebagi ide persamaan yang benar dengan
partisipasi semua anggota masyarakat.
5. Orientalis H. I
Islam adalah sebaik-baiknya agama dan
ternyata Islam hingga dewasa kini masih tetap merupakan akidah agama
yang kukuh, yang memiliki kaidah kemasyarakatan yang merata, dan
sekaligus memiliki tatanan budi luhur yang sangat kuat.
6. Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tawairjiri
Islam adalah penyerahan diri sepenuhnya
kepada Allah dengan mengesakan-Nya dan melaksanakan syariat-Nya dengan
penuh ketaatan atau melepaskan dari kesyirikan.
7. Umar Bin Khaththab
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw. Agama ini meliputi: Akidah, Syariat, dan Akhlak.
8. Abu Said Al-Hasan Al-Bashri
Islam ialah kepasrahan hati anda kepada Allah, lalu setiap orang muslim merasa selamat dari gangguan anda.
C. Paham dan Aliran-aliran dalam Islam1. Lahirnya Paham Khawarij
Timbulnya Khawarij setelah terjadinya
peperangan Siffin diantara Ali dan Muawiyah. Peperangan itu diakhiri
dengan suatu gencatan senjata untuk mengadakan perundingan antara kedua
belah pihak. Golongan Khawarij adalah golongan pengikut Ali yang tidak
setuju dengan adanya gencatan senajata dan perundingan, Sebab itulah
golongan ini memisahkan diri dari fihak Ali. Maka timbullah Khawarij,
suatu golongan yang menentang Ali dan menentang Muawiyah. Golongan ini
yang berkembang dan tersebar ke mana-mana dalam alam Islam pada masa
itu. Sehingga inilah salah satu aliran pula yang menjadi opposisi dari
pemerintah Umawiyyah kelak, sampi menjadikan sebab jatuhnya Daulah
Umawiyah bagian timur. Fanatisme Islam dan keikhlasan berjuang dan
keberanian menghadapi maut yang luar biasa, golongan ini memang dapat
dibanggakan, bahkan kebanyakan tokoh-tokoh mereka sangat patuh
menjalankan ibadah, sehingga dinyatakan bahwa diantara kode-kode yang
digunakan ialah : cahaya yang tampak bersinar di atas dahi mereka,
karena seiringnya digunakan untuk berwudhu dan shalat. Pada umumnya
golongan khwarij ini bersemboyan “tiadak ada hukum selain hukum Allah”. Golongan Khawarij ini terdiri dari beberapa aliran lagi, tapi pada garis besarnya fahamnya sama, yaitu sebagai berikut :
Menurut anggapan mereka : Ali, Usman dan
orang yang turut dalam peperangan Jamal dan juga orang-orang yang setuju
tentang diadakannya perundingan antara ali dan Muawiyah, mereka
semuanya dihukumi Kafir. Setiap orang dari umat Muhammad yang terus
menerus berbuat dosa besar, hingga matinya belum taubat, maka dihukumi
kafir dan akan kekal masuk neraka. Tapi golongan Najadar, beranggapan
hanya kafir terhadap nikmat Tuhan saja. Boleh tidak mematuhi terhadap
Khalifah, bila menurut anggapan mereka Khalifah itu zalim atau khianat.
2. Lahirnya Paham Murjiah
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir
abad pertama Hijriyah. Golongan ini dinamakan Murjiah, karena lafaz itu
berarti menunda atau mengembalikan. Golongan ini berpendapat bahwa
seorang mukmin yang melakukan dosa besar itu ia tetap mukmin, tetapi ia
tetap berdosa, sedang ketentuan nasibnya terserah kepada Allah kelak di
akherat, apakah dimaafkan atas rahmatnya atau disiksa atas keadilan-Nya.
3. Lahirnya Paham Qodariyah
Aliran ini timbul kira-kira pada tahun 70
H. Yang dipelopori oleh Ma’abad Al-Jauhani Al-Bisri, Gailan ad Dimsyqi
dan lain-lain. Faham Qodariyah ini pada hakikatnya bagian dari faham
Mu’tazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Mu’tazilah,
akan tetapi sepanjang sejarah persoalan Qodariyah ini merupakan satu
soal yang besar juga yang harus menjadi perhatian. Timbulnya aliran
Qodariyah ini di Irak pada zaman pemerintah Khalifah Abdul Malik bin
Marwan.
Aliran ini berpendapat, bahwa manusia itu
mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala amal perbuatannya.
Dengan kemauan dan kekuasaan sendiri, manusia dapat berbuat baik atau
buruk dengan tidak ada kekuasaan lain yang memaksanya. Dasar fikiran ini
adalah adanya ketentuan pahala dan siksa, bagi mereka yang berbuat baik
akan mendapat pahala dan mereka yang berbuat dosa akan mendapat siksa.
4. Lahirnya Paham Jabariyah
Aliran jabariyah adalah golongan yang
menentang gerakan Qodariyah. Yang mula-mula membangun gerakan ini adalah
Jaham bin Syafwan, makanya gerakan ini sering disebut Jahamiyah.
Jahamlah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan
terpaksa, tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sesuatu, sesunguhnya
Allah sajalah yang menentukan sesuatu itu kepada seseorang, baik dia
yang dikehendaki atau tidak.
Pendapat-pendapat golongan ini diantaranya adalah :
- Surga dan Neraka itu tidak abadi, yang abadi hanyalah Tuhan saja.
- Tuhan Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat.
- Tuhan itu tidak boleh mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan makhluk, tuhan tidak boleh dinyatakan mempunya sifat hayat, sebagaimana juga tidak boleh dinyatakan, bahwa tuhan itu mempunyai sifat mati.
- Qur’an itu adalah sebagi makhluk Allah yang dibuatnya (artinya Hadits : Baru).
Adapun aliran-aliran Islam yang lahir diantaranya sebagai berikut:- Tuhan Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat.
- Tuhan itu tidak boleh mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan makhluk, tuhan tidak boleh dinyatakan mempunya sifat hayat, sebagaimana juga tidak boleh dinyatakan, bahwa tuhan itu mempunyai sifat mati.
- Qur’an itu adalah sebagi makhluk Allah yang dibuatnya (artinya Hadits : Baru).
a. Mu’tazilah
Pembangunan aliran ini adalah Abu
Khuzafah Wasil Bin Ato’ Al-Ghazali. Timbulnya di zaman Abdul Malik bin
Marwan dan anaknya Hisyam bin Abdul Malik. Golongan ini dinamakan
Mu’tazilah, karena wasil itu memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan
Al-Basyri, karena perbedaan pendapat tentang orang Islam yang
mengerjakan maksiat dan dosa besar, hingga mati ia belum juga tobat.
Dalam masalah ini golongan Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin dan
tidak kafir, tetapi Manzilah baina Manjilatain.
Sebagai keringkasan ajaran Mu’tazilah ini adalah sebagai berikut :
1. Orang Islam yang mengerjakan dosa
besar, sehingga matinya belum taubat, maka orang itu dihukumkan tidak
kafir dan tidak mukmin, tapi antara keduanya itu (Manzilah baina
Manjilatain).
2. Tentang Qodar, mereka berpendapat sesungguhnya bukanlah Allah menjadikan segala perbuatan ini, tetapi makhluk sendirilah yang menjadikan dan mengerjakan segala perbuatannya.
3. Tentang ketauhidan, Mu’tazilah menafi’kan Allah bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu Qudrot, Hayat dan sebagainya selain Zat-Nya saja, bahkan Allah tu bersifat Aliman, Qodiron, Hayan, Sami’an, Basiran dan sebaginya dalah dengan Zat-Nya demikian.
4. Tentang akal, yaitu manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk, sekalipun tidak diberikan oleh syara’.
5. Tentang janji dan sanki itu pasti terlaksana, janji dengan pahala sanki dengan siksa, janji menerima taubat, Tuhan tidak akan memaafkan dosa besar tanpa taubat tidak akan menutupi pintu pahala bagi orang yang akan bertaubat dan akan berbuat kebaikan.
b. Pemahaman aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah2. Tentang Qodar, mereka berpendapat sesungguhnya bukanlah Allah menjadikan segala perbuatan ini, tetapi makhluk sendirilah yang menjadikan dan mengerjakan segala perbuatannya.
3. Tentang ketauhidan, Mu’tazilah menafi’kan Allah bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu Qudrot, Hayat dan sebagainya selain Zat-Nya saja, bahkan Allah tu bersifat Aliman, Qodiron, Hayan, Sami’an, Basiran dan sebaginya dalah dengan Zat-Nya demikian.
4. Tentang akal, yaitu manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk, sekalipun tidak diberikan oleh syara’.
5. Tentang janji dan sanki itu pasti terlaksana, janji dengan pahala sanki dengan siksa, janji menerima taubat, Tuhan tidak akan memaafkan dosa besar tanpa taubat tidak akan menutupi pintu pahala bagi orang yang akan bertaubat dan akan berbuat kebaikan.
Timbulnya golongan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah ialah pada abad III hijriyah. Pelopornya ialah dua orang
ulama besar dalam bidang ushuludin, yaitu syekh Abu Hasan Ali Al_asy’ari
dan Syekh Abu Mansur Al-Maturidi. Golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini
timbul sebagai reaksi terhadap firqah-firqah yang sesat. Perkataan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah kadang-kadang dipendekan penyebutannya dengan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut
Asy’ariyah, dikaitkan pada guru besarnya yang pertama kali : Abu Hasan
Ali Al-Asy’ari. Dasar timbulnya aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah
ayat Allah Al-Qur’an dan Hadits Nabi dasar ayatnya adalah :
Artinya : “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.”(Q.S. At-Taubat : 100).
Adapun pokok-pokok ajaran aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah antara lain :
1. Allah SWT, memiliki sifat-sifat wajib, Mustahil dan Zaij2. Tentang melihat Allah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpendapat bahwa Allah SWT, akan dapat dilihat di akhirat, berdasarkan firman-Nya :
×Artinya : “Wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.”
(Q.S.75. Al-Qiyyamah : 22-23).
2. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI AKIDAH DAN SISTEM KEYAKINANA. Pengertian, Definisi Aqidah.
Ajaran Islam merupakan ajaran yang
sempurna, lengkap dan universal yang terangkum dalam 3 hal pokok;
Aqidah, Syari’at dan Akhlak. Artinya seluruh ajaran Islam bermuara pada
tiga hal ini.
Aqidah adalah bentuk masdar dari kata
“aqda, ya’qidu ‘aqdan ‘aqidatan” yang berarti simpulan, ikatan,
sangkutan, perjanjian, dan kokoh. Sedang secara teknis akidah berarti
iman, kepercayaan dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di
dalam hati, ia mengikatkan hati seseorang yang diyakini atau diimaninya
dan ikatan tersebut tidak oleh dilepaskan selama hidupnya.
Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah
dengan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam hati, yang dengannya
jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak
dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka.
Sedang Syekh Hasan al-Banna menyatakan akidah sebagai sesuatu yang
seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang
menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.
Kedua pengertian tersebut menggambarkan bahwa ciri-ciri akidah dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Akidah didasarkan pada keyakinan
hati, tidak menuntut yang serba rasional, sebab ada masalah tertentu
yang tidak rasional dalam akidah;
2. Akidah Islam sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah menimbulkan ketentraman dan ketenangan;
3. Akidah Islam diasumsikan sebagai
perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan akidah harus penuh
keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan;
4. Akidah dalam Islam tidak hanya
diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah “thayyibah” dan
diamalkan dengan perbuatan shaleh;
5. Keyakinan dalam akidah Islam
merupakan masalah yang supraempiris, maka dalil yang dipergunakan dalam
pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indra dan kemampuan
manusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Rosul Allah.
Pada perkembangan selanjutnya, term
akidah identik dengan term iman, tauhid, ushuluddin, ilmu kalam, fiqh
akbar, dan teologi jika akidah itu telah menjadi suatu disiplin ilmu
tersendiri. Menurut Mahmud Syaltout, akidah ialah sisi teoritis yang
harus pertama kali diimani atau diyakini dengan keyakinan yang mantap
tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya
nash-nash al-Qur’an maupun hadits mutawatiryang secara eksplisit
menjelaskan persoalan itu, disamping adanya konsensus para ulama sejak
pertama kali ajaran Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu
pula yang menjadi inti ajaran Allah kepada para Rasul sebelumnya.
Al-Qur’an menyebut akidah dengan istilah “iman” sedangkan syari’ah
dengan istilah “amal shalih”. Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang
hubungan akidah dan syari’at dijabarkan dengan hubungan dan keterkaitan
antara iman dan amal saleh banyak sekali. Lebih lanjut, Mahmud Syaltout
mengelaborasi bahwa dalam ajaran Islam, akidah merupakan landasan atau
akar (al-ashl) sedangkan syari’ah merupkan batang, cabang-cabangnya
(furu’). Hal itu berimplikasi bahwa syari’ah tidak bisa berdiri sendiri
atau tumbuh tanpa akar yang berupa akidah. Dan syari’ah tanpa akidah
bagaikan bangunan yang melayang karena tidak ada pondasinya. Namun
demikian, Islam menyatakan bahwa hubungan antara keduanya merupakan
suatu keniscayaan, yang artinya bahwa antara akidah dan syari’ah tidak
bisa berdiri sendiri-sendiri.
B. Pengertian, Definisi Syari’ah
Secara etimologi, Syari’ah(t) berarti
jalan yang lurus (thariqoh mustaqimah) yang diisyaratkan dalam QS.
Al-Jatsiyah: 18. Atau jalan yang dilalui air untuk diminum, atau juga
tangga atau tempat naik yang bertingkat-tingkat. Sedngkan makna
terminologi, syari’ah mempunyai beberapa pengertian yang dikemukakan
oleh beberapa ahli sebagai berikut:
Al-Thanawi menjelaskan bahwa syari’ah
adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT yang dibawa oleh salah
satu Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang berkaitan
dengan cara berbuat yang disebut dengan “far’iyah atau amaliyah” yang
untuknya dihimpun Ilmu fiqh, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan
yang disebut dengan “ashliyah” atau “i’tiqdiyah” yang untuknya dihimpun
Ilmu Kalam.
Sedangkan Muhammad Sallam Madzkur
menerangkan bahwa syari’ah adalah hukum yang ditetapkan Allah SWT
melalui Rosul-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik
yang berkaitan dengan akidah, amaliyah maupun akhlaq. Ketika dipakai
dalam pembahasan hukum, makna syari’ah adalah segala sesuatu yang
disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sebagai jalan lurus untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lalu, apakah syari’ah tersebut
mencakup aspek ajaran keagamaan atau tidak. Dalam hal ini, Manna’
al-Qathan berpendapat bahwa istilah syari’ah itu mencakup akidah dan
akhlaq disamping aspek hukum, sebagaimana dia katakan bahwa syari’ah
adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya.
Dengan pengertiannya ini, dia ingin membedakan antara syari’ah sebagai
ajaran yang datang langsung dari Tuhan, dengan perundang-undangan hasil
pemikiran manusia. Namun dia mengidentikkan syari’ah dengan agama.
Mahmud Syaltout memberikan pengertian
yang jelas, dia mengartikan bahwa syari’ah itu adalah
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas
dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia
baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia lainnya, orang
Islam dengan non-muslim, dengan alam, maupun dlam menata kehidupan ini.
Mahmud Syaltout lebih jauh berpendapat bahwa aspek akidah tidak termasuk
pada pembahasan dan kajian syari’ah karena akidah menurutnya merupakan
landasan bagi tumbuh dan berkembangnya syari’ah. Sedang syari’ah
merupakan sesuatu yang harus tumbuh di atas akidah tersebut. Namun, term
syari’ah selanjutnya berkembang menjadi sebutan hukum Islam karena
pembuat hukum sebenarnya adalah Allah SWT. Dilihat dari segi ilmu hukum
ini, syari’ah merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang
wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan
akhlak, baik dlam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia
dan benda dalam masyarakat. Menurut Muhammad Mushlih al-Din, hukum Islam
adalah sebagai perintah Allah yang diwahyukan kepada Muhammad SAW.
Ada dua istilah yang dipergunakan untuk
menunjukkan hukum Islam, yakni 1) Syari’at Islam dan 2) Fiqih Islam. Di
dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, Syari’at Islam disebut
Islamic Law, sedang fiqh Islam Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa
Indonesia, untuk syari’at Islam, sering dipergunakan kata-kata hukum
syari’at atau hukum syara’, untuk fiqh Islam dipergunakan istilah hukum
fiqhvatau kadang-kadang hukum (fiqh) Islam. Dalam praktek, seringkali,
kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan
apa yang dimaksud. Ini dapat dipahami karena hubungan keduanya memang
sangat erat, dapat dibedakan, tetapi tidk mungkin dipisahkan. Syari’at
adalah landasan fiqh, fiqh adalah pemahaman tentang syari’at. Perkataan
ayari’at dan fiqh (kedua-duanya) terdapat di dalam al-Qur’an, syari’at
dalam QS. Al-Jatsiyah: 18 dan fiqh dalam QS. At-Taubah: 122.
Mungkin karena hubungannya yang sangat
erat itulah, Imam Syafi’i mengatakan “Syari’at adalah
‘peraturan-peraturan yang bersumber dari wahyu dan
‘kesimpulan-kesimpulan’ yang dapat dianalisa dari wahyu itu mengenai
tingkah laku manusia”. Dalam rumusan tersebut, ada dua hal yang
disatukan. Pertama adalah “peraturan-peraturan yang bersumber dari
wahyu” yang berarti syari’at dan kedua “kesimpulan-kesimpulam yang dapat
dianalisis dari wahyu itu” yang bermakna fiqh. Jika merujuk pada
penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut, bahwa
syari’ah merupakan sesuatu yang harus berlandaskan akidah dan pemahaman
tentang syari’ah disebut dengan fiqh.
C. Sistem Keyakinan Dalam Islam
Keyakinan merupakan dasar dari setiap
gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri
membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran
bagi dirinya. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri
dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap
tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu
yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini
disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki
kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di
luar pengalaman inderawinya. Salah satu di antaranya adalah mengenai
Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem
keyakinan ilmiah.
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran-peran peradaban manusia. Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran-peran peradaban manusia. Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.
Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang
Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan
persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi
Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati
kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan
menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan
berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang
disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa
ajaran Tauhid adalah ajaran universal.
3. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI AGAMA DAN SISTEM IBADAH4. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI SITEM KEHIDUPAN (Islamic Way Life)
Islam sebagai agama sudah umum dipahami
oleh kita, dimana adanya aktifitas yang mengagungkan (taqdis) terhadap
sesuatu yang lebih besar diluar dirinya. Tetapi apakah betul Islam hanya
sebuah agama semata semisal: ibadah mahdah (shalat, zakat, puasa, haji,
dzikir dan shadaqah) atau masalah akhlaq (hati). Sehingga muncul
ungkapan: ”Jangan libatkan agama dalam urusan politik!” atau slogan: “Islam yes, politik no!”,
sehingga seolah-olah Islam silahkan dijalankan dimesjid-mesjid dan
diluar mesjid jangan melibatkan Islam. Islam tidak hanya sebatas agama
tetapi juga merupakan sebuah sistem kehidupan (ideologi) yang sangat
sempurna, Allah swt menciptakan manusia tentu tidak akan lupa untuk
menciptakan juga aturan yang dapat menyelamatkan manusia dari
kesengsaraan didunia dan akhirat. Maha Suci Allah dari segala
keterlupaan itu. Sebagai acuan untuk mengatur sistem kehidupan adalah
Al-Quran dan Sunnah.
“Aku telah meninggalkan ditengah-tengah
kalian dua perkara, kalian tidak akan pernah tersesat selamanya selama
kalian berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya” (HR Imam Malik). Untuk mengatur kehidupan ini, dapat diuraikan
dalam 3 bagian:
1. Hubungan manusia dengan Tuhannya.
a. Aqidah: bagaimana manusia mengenal Tuhannya (Tauhid), Muhammad saw utusan-Nya, Al-Quran sebagai kalamullah, dan lain-lain.b. Ibadah: shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, shadaqah, dan lain-lain.
2. Hubungan manusia dengan dirinya.
a. Akhlaq: sikap moral, sabar, kasih sayang, dan lain-lain.
b. Math’umat (makanan): keharaman babi, khamr, dan lain-lain.
c. Malbusat (pakaian): menutup aurat.
3. Hubungan manusia dengan manusia lainnya.
a. Mu’amalat: perdagangan, industri, kesehatan, sosial, pendidikan, dan lain-lain.
b. ‘Uqubat (sanksi): sanksi terhadap pelanggaran syari’at Islam seperti: had, qishash/jinayat, ta’zir dan mukhallafat.
Dengan demikian Islam disamping sebuah
agama juga sebuah sistem kehidupan, hanya saja sangat disayangkan sistem
kehidupan yang sangat sempurna ini, telah terbukti keberhasilan
penerapannya selama lebih 13 abad dan pasti benar karena berasal dari
Allah swt, tidak bisa diterapkan ditengah-tengah kehidupan kita dan
masih sebatas konsep (fikrah) belaka. Penerapannya masih sebatas ibadah,
akhlaq, nikah atau waris, tetapi bagaimana dengan syari’at Islam yang
lain?.
Jika kita fokus kepada masalah tauhid
saja, maka kita baru menjalankan Islam disisi hubungan manusia dengan
Tuhannya (aqidah). Jika kita fokus kepada dzikir saja, maka kita baru
menjalankan Islam disisi hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah). Jika
kita fokus kepada masalah akhlaq (hati) saja, maka kita baru
menjalankan hubungan manusia dengan manusia lain (akhlaq). Tetapi
bagaimana dengan syari’at Islam lainnya? math’umat (makanan), malbusat
(pakaian), mu’amalat (perdagangan, industri, kesehatan, sosial,
pendidikan, dan lain-lain), ‘uqubat (sistem sanksi atas pelaku
kriminal), sudahkah kita memahami dan menjalankannya sesuai Islam?.
Makanan sudah halalkah?, pakaian sudah menutup auratkah?, masih
korupsikah?, masih menikmati bunga ribakah?, untuk menghukum pelaku
kriminal masih menggunakan hukum Belanda-kah?, dan lain-lain.
Padahal Allah swt memerintahkan kita
menjalankan Islam secara kaffah (total), tidak mengambil sebagian dan
mengabaikan sebagian besar lainnya. Wahai orang-orang yang beriman
masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu
(Al-Baqarah 208). Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan
rasul-Nya dan hendak membedakan antara Allah dan Rasul-Nya itu, dan
berkata: “Kami mempercayai sebagian dan kafir kepada yang lain”. Dan
mereka bermaksud mencari jalan tengah (antara iman dan kafir). Mereka
(yang bersikap demikian) itulah yang kafir tulen, kami menyediakan bagi
orang-orang yang kafir azab yang berat (An-Nisa’ 150-151).
Padahal, tidak ada yang terbebas dari
syari’at Islam kecuali 4 jenis manusia saja: anak kecil hingga baligh,
orang gila hingga waras, orang tidur hingga bangun dan orang mati. Kita
termasuk yang mana?, kalau bukan salah satu dari 4 jenis manusia
tersebut maka kita wajib menjalankan syari’at Islam seutuhnya/kaffah.
Jika tidak diterapkan hukum-hukum Allah ini secara sempurna, maka kita
hanya bisa berharap-harap cemas agar Allah swt tidak menimpakan adzabnya
kepada kita, atau jangan-jangan kita telah mengalaminya saat ini.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya (Al-A’raf 96). Telah terjadi kerusakan didarat
dan dilaut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah akan merasakan
kepada mereka sebahagian (akibat tindakan mereka) agar mereka kembali
(kejalan yang benar) (Ar-Rum 41).
5. PENJELASAN FUNGSI AL-QU’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam
yang utama. Al-Qur’an bearti bacaan. Secara maknawi Al-Qur’an adalah
kalam Allah SWT. Al-Qur’an merupakan mukjizat yang diturunkan
(diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an bersifat universal.
Universal dalam arti cakupan sasaran seluruhnya umat manusia tanpa
dibatasi ras (suku bangsa) dan wilayah serta golongan atau strata sosial
tertentu. Kedudukan Al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum Islam. Fungsi
Al-Qur’an bagi seorang muslim adalah sebagai hukum islam maupun sebagai
pedoman.
Melalui Al-Qur’an, Allah SWT memberi pedoman hidup/ penjelasan kepada manusia diantaranya sebagai berikut:
1. Pemahaman Islam sebagai tauhid yang
diridhoi Allah harus didasarkan kepada tuntunan Allah. Semua keinginan
Allah telah dituangkan kedalam kitab suci Al-Qur’an. Karena itu dasar
berpikir tentang Islam sebagai agama yang diridhoi Allah harus
berlandaskan Al-Qur’an dan tidak bertentangan dengan kitab suci
sebelumnya.
2. Allah SWT telah menjelaskan bahwa kedengkian, kebencian, perselisihan, pertikaian, perusakan dan perurusuan adalah sifat iblis atau setan yang terkutuk, bukan sifat manusia yang meyakini Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.
3. Demi mencapai keselamatan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia, Allah telah memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia untuk berpedoman kepada kitab suci yang diwahyukan oleh Allah.
2. Allah SWT telah menjelaskan bahwa kedengkian, kebencian, perselisihan, pertikaian, perusakan dan perurusuan adalah sifat iblis atau setan yang terkutuk, bukan sifat manusia yang meyakini Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.
3. Demi mencapai keselamatan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia, Allah telah memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia untuk berpedoman kepada kitab suci yang diwahyukan oleh Allah.
Al-Qur’an memiliki kelebihan dan keistimewaan tersebut antara lain sebagai berikut:
- Al-Qur’an mengandung ajaran tauhid yang pernah dimuat pada kitab-kitab dan mengoreksi penyelewengannya.
- Al-Qur’an ditujukan bagi semua umat sepanjang masa. Adapun kitab-kitab sebelumnya hanya untuk tertentu saja dan hanya untuk kurun waktu tertentu pula.
- sebagai pedoman hidup abadi.
- Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa yangsangat indah, mudah dibaca, diingat, dihafalkan dan dipahami.
Sunnah didefenisikan sebagai jalan hidup. Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an menurut Muhammad Abu Zahu yaitu:
- Menegaskan kembali hukum-hukum yang sudah ditetapkan Al-Qur’an.
- Memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.
- Menetapkan hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara tegas.
- Menaskahkan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.
Secara bahasa Ijtihad artinya
bersungguh-sungguh, sedangkan secara istilah Ijtihad artinya berusaha
dengan sungguh-sungguh atau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk
mendapatkan hukum syara’ dari suatu masalah yang bersumber pada
Al-Qur’an dan Hadits. Orang yang melakukan Ijtihad disebut Mujtahid.
Hasil ijtihad merupakan dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an
dan Hadits, seorang Mujtahid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan hukum-hukum, Asbabun Nuzul, tingkatan Hadits dan Perawinya.
- Memahami bahasa arab dengan kelengkapannya.
- Memahami Ilmu Usul Fiqih secara luas.
- Hal yang diijtihadkan bukan hukum syara’ yang sudah jelas dasar hukumnya.
- Memahami soal Ijmak atau pendapat para ulama terdahulu
- Orang Islam , dewasa, sehat akalnya, serta memiliki kecerdasan.
Kedudukan dan fungsi ijtihad adalah sebagai berikut:
- Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
- Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan permasalahan social dengan ajaran-ajaran Islam.
- Ijtihad yaitu sebagai wadah pencurahan pikiran-pikiran kaum muslimin.
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru,
dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits
berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW
(aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi
pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan
taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di
atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti
yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama
dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau
perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an
membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama
sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci
keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah.
Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari
Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah
Al-Qur’an.
Sekarang timbulah setidaknya ada dua persoalan yang mendasar, yaitu;
Pertama, dapatkah Sunnah berdiri sendiri dalam menentukan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an?; Kedua, apakah semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang harus diikuti oleh setiap umat Islam?.
A. Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman
hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang
telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara
otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam.
Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam,
bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang
kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran
dijelaskan antara lain sebagai berikut:
- Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
- Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
- Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
- Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang
pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga
untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak
dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al
Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi
sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar
dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat
Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum,
dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain
itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan
ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna
alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya
didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan
melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
B. Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas
daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi
As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat
umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni
ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
“Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni
manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat
Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk
memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang
berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat
Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan
orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab
yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang
merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya
kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
C. Dapatkah As-Sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu
hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan
yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian
para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang
menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi
dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian
banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk
ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya
Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada
Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti
apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak
terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan
sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga
apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan
maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai
Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai
tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya.
Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah
itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl:
44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah
ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab
Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak
mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya
berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya
adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada
atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal
sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena
sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah
yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada
ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka
sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda
pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak
(hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain
sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang
barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya,
walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung
untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.
D. Apakah Semua Perbuatan Nabi Muhammad Saw Dapat Berfungsi Sebagai Sumber Hukum, Yang Harus Diikuti Oleh Setiap Muslim?
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran
sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri
seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak
semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang
betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan
dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail
masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau.
Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi
umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya
hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi
tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut
dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh
dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi
kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya
antara lain:
a. Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak
berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok
harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi
beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b. Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan
poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini
hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru
diharamkan bila melakukannya.
c. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada
beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun
hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya, diantaranya:
- Shalat Dhuha’ : Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
- Qiyamullail : Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
- Bersiwak : Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
- Bermusyawarah : Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
- Menyembelih kurban (udhhiyah) : Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
d. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
1. Menerima harta zakat : Semiskin
apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat.
Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
2. Makan makanan yang berbau : Segala
jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau,
seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau
datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya,
hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan
makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat
Muhammad SAW.
3. Haram menikahi wanita ahlulkitab :
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim.
Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin
bisa terjadi. Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli
kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran
surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas,
perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan
sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat
bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga
beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu
itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan
setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas
perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil
istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang
ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
7. PENJELASAN IJMA’ DAN QIYAS SEBAGAI DASAR HUKUM ISLAM IJTIHADI
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti
kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan
seseorang ( ) yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat)
tentang yang demikian itu.” Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan
mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi
setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti
beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu
itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan
bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama.
Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu
Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.
Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
2. Dasar hukum ijma’
Dasar hukum ijma’ berupa aI-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.” (an-Nisâ’: 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di
atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi
urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja,
kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan
agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para
ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari
suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan
dipatuhi oleh kaum muslimin.Firman AIlah SWT:
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103).
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin
bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam
pengertian bersatu itu ialah berijma’ (bersepakat) dan dilarang
bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati oleh para mujtahid. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan barangsiapa yang menantang
Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam
jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisâ’:
115).
Pada ayat di atas terdapat
perkataan sabîlil mu’minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman.
Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma’,
sehingga maksud ayat ialah: “barangsiapa yang tidak mengikuti ijma’
para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka.”
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’
tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu
hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan
untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.”(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c. Akal pikiran
Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum
syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran
Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui
dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam
berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad
dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak
boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang
dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh
melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh
menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan
sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian
itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh
menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits, karena semuanya
dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh
diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama
tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3. Rukun-rukun ijma’
Dari definisi dan dasar hukum ijma’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma’ sebagai berikut:
- Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma’, karena ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
- Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma’.
- Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
- Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari’ah.
4. Kemungkinan terjadinya ijma’
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin
sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan
kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode,
yaitu: Periode Rasulullah SAW; Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan
Khalifah Umar bin Khattab; dan Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau
merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum
muslimin mencari hukumnya pada al-Qur’an yang telah diturunkan dan
hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak
menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya
kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya
menunggu ayat al-Qur’an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin
masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu
peristiwa atau kejadian yang mereka alami. Setelah Rasulullah SAW
meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka
telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka
berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah
berijma’. Seandainya ada ijma’ itu, kemungkinan terjadi pada masa
khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa
enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu
kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam
diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih
mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai
mujtahid. Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman,
mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal
ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya
sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme).
Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin
semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan
Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij,
golongan Syi’ah golongan Mu’awiyah dan sebagainya. Demikianlah
perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah,
semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya,
sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas,
sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah
benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok
Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar
melakukan ijma’ dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Ijma’ tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
- Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan
- Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri
negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara
Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas
penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun
penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau
undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas
penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam.
Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam.
Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah
musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika
persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma’, maka
ada kemungkinan terjadinya ijma’ pada masa setelah Khalifah Utsman
sampai sekarang sekalipun ijma’ itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma’
lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi
ijma’, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam
atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam.
Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada
ayat 59 surat an-Nisâ’ atau sebagai ahlul halli wal ‘aqdi. Mereka diberi
hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau
peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam
Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat
mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam
suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum
muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat
sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi
nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5. Macam-macam ijma’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma’
benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh
diterangkan macam-macam ijma’. Diterangkan bahwa ijma’ itu dapat
ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa
macam. Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri atas:
- ljma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi;
- Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada:
- ljma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain;
- ljma’ dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula
beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat
terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu ialah:
- Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
- Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
- Ijma’ shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
- Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi’i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
- Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
6. Obyek ijma’
Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau
kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur’an dan al-Hadits,
peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah
(ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang
mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan
dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan
al-Hadits.
B. Qiyas
Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan
para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan
salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran
Islam.
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab
berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A
dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk
tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti
mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang
lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan
mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau
peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang
dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya
dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua
kejadian atau peristiwa itu ada persamaan ‘illat. Jadi suatu qiyas hanya
dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada
satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu
peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan
oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau
kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah
dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh
berikut:
- Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib
dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk
perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat
keberuntungan.” (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada
persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para
peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat
itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana
haramnya meminum khamr.
b. Si A telah menerima wasiat dari B
bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B
meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan,
karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh
tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian
yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan
‘illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris
terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh
harta warisan. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Orang yang membunuh (orang yang
akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi.” (HR. Tirmidzi). Antara kedua
peristiwa itu ada persamaan ‘illatnya, yaitu ingin segera memperoleh
sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan
‘illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang
diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah
berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan
diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah
dibunuhnya.
c. Terus melakukan sesuatu pekerjaan,
seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah
mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum’at belum ditetapkan hukumnya.
Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash
dan ada pula persamaan ‘illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual
beli setelah mendengar adzan Jum’at, yang hukumnya makruh. Berdasar
firman AIIah SWT:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum’at, maka hendaklah
segera mengingat Allah (shalat Jum’at) dan meninggalkan jual-beli. Yang
demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan
‘illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu
pekerjaan setelah mendengar adzan Jum’at, yaitu makruh seperti hukum
melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju’mat.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat
bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu
ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan
dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu,
dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama pula.
Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama
dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
2. Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para
pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah
satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam.
Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau
macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada
yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua
mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa
tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang
tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya
ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah. Mengenai
dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Qur’an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang
demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’:
59).
Dari ayat di atas dapat diambilah
pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan
segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam
al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika
tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan
mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan
menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan qiyas.
Artinya:“Dialah yang mengeluarkan
orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran
pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari
(siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan)
dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke
dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka
ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang
mempunyai pandangan yang tajam.” (al-Hasyr: 2). Pada ayat di atas
terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan
ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan
tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar
membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian
yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman
melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya
mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas
dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan
cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum
apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku
tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam
al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah.
Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab:
Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha
sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan
berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang
diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai
Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa
seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam
berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
“Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah
Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku
telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat
melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban
melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji
untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu
yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang
kepada Allah lebih utama untuk dibayar.” (HR. Bukhari dan an-Nasâ’i)
Pada hadits di atas Rasulullah
mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang
anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam
keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya
untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan
mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam
keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan
hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia.
Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah
lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah
SAW menggunakan qiyas aulawi.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan
qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.
Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu
Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat
yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai
imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu
Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha
jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah
menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk
bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan.
Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
“kemudian pahamilah benar-benar persoalan
yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam
al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian
terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian
berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan
yang paling sesuai dengan kebenaran…”
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi
kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang
diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan
‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan
hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai
dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan
‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab
itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara
qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa
nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya
dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan.
Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari
syari’at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat
bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak
pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan
hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari
peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang
ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Dengan
melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat
ditetapkan.
3. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas
Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah:
a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas
dasar dhan (dugaan keras), dan ‘illatnyapun ditetapkan berdasarkan
dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti
sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT:
Artinya: “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu…” (al-Isrâ’: 36)
b. Sebahagian sahabat mencela sekali
orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran,
seperti pernyataan Umar bin Khattab:
Artinya: “Jauhilah oleh kamu golongan
rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka
tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat
akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang.”
Jika diperhatikan alasan-alasan golongan
yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal
yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ’, tidak berhubungan
dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin
memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat
sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah
menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta
anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam
hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin
Khattab berawanan dengan isi suratnya kepada Mu’adz bin Jabal, karena
itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas memperingatkan
orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan
pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur’an dan
Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan
hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
Golongan ra’yu yang dimaksudkan Umar bin
Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari
dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur’an bagi mereka
adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali.
Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra’yu (rasional) yang
dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi
kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas
kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu’adz
membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
4. Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
- Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
- Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
- Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
- ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak
yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak
ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut
fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan
peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang
disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).”(an-Nisâ’: 10)
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa
ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim.
Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan
memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
- Fara’, ialah menjual harta anak yatim.
- Hukum ashal, ialah haram.
- ‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
5. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ashal dan fara’
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara’
berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash,
karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai
dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal
disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, sedang fara’ berupa peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya.
Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan
nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan
hukum fara’ itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’
yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini
diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang
sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka
jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran
qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai
sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang
ditetapkan secara ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga
tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang
mujma’ ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
‘Illat hukum ashal itu adalah ‘illat yang
dapat dicapai oleh akal. Jika ‘illat hukum ashal itu tidak dapat
dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk
menetapkan hukum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara’) secara
qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa syari’at itu ditetapkan untuk
kemaslahatan manusia, serta berdasarkan ‘illat-’illat yang ada padanya.
Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa ‘illat. Hanya saja ada ‘illat yang
sukar diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia,
seperti apa illat shalat Dzuhur ditetapkan empat raka’at, apa pula
‘illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka’at dan sebagainya tidak ada
yang mengetahui ‘illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada pula
hukum yang ‘illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa
diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan
sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran
qiyas.Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang
berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashal macam ini ada dua macam,
yaitu: ‘Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin
pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang
musafir. ‘IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan
kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur’an dan al-Hadits
menerangkan bahwa ‘illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
Dalil (al-Qur’an dan al-Hadits)
menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada
kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat
hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak
boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia,
dan sebagainya.
c. ‘Illat
‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada
ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta
untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya,
seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang
terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar
untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT
membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul
manâfi’) dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul
mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari
pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum.
Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai
tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari
segala macam kerusakan. ‘Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti
ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.
‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang
melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan
menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil
yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh
ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan
shalat Dzuhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at dan sebagainya.
Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau kemudharatan.
Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar
ada atau tidaknya hukum, sedang ‘illat adalah suatu yang nyata dan
pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh
mengqashar shalat.
Mengenai ‘illat hukum dan sebab hukum,
ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah
tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu
sangat sedikit. Menurut mereka ‘illat hukum dapat dicapai oleh akal,
sedang sebab hukum ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar
dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah
itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu
‘illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari
merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian
pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya’ban merupakan
sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Tetapi
terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena
kedua sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar
(dalam perjalanan) disamping ia merupakan ‘illat hukum, juga merupakan
sebab hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat. Dengan demikian
dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari ‘illat, dengan
perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum
tentu semua sebab dapat dikatakan ‘illat.
1. Syarat-syarat ‘illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
Sifat ‘illat itu hendaknya nyata, masih
terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena ‘illat
itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’. Seperti
sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan
akal, bahwa ‘illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan
terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa ‘illat itu ada pada
menjual harta anak yatim (fara’). Jika sifat ‘illat itu samar-samar,
kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk
menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
Sifat ‘illat itu hendaklah pasti,
tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada fara’,
karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan
fara’. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap
orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat
dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat
kepadanya.
‘Illat harus berupa sifat yang sesuai
dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa
‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal
yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu
terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan
menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai
dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung
suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
‘Illat itu tidak hanya terdapat pada
ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang
khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas.
Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan
khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan
isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau
meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
2. Pembagian ‘Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta
hukum (syari’) tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka
ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu’tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh
syara’ dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum
(syari’) telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman
Allah SWT:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid,
katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai
syari’) telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang
sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena
kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai ‘illatnya.
Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang
sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara’
pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak
diungkapkan syara’ sebagai ‘illat hukum pada masalah yang sedang
dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai ‘illat hukum dan disebut dalam nash
pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi.
Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di
bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan ‘illatnya. Pada
masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara’
mengungkapkan keadaan kecil sebagai ‘illat hukum yang menyebabkan wali
berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu.
Berdasarkan pengungkapan syara’ itu maka keadaan kecil dapat pula
dijadikan ‘illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti
penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di
bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan
tidak pula diungkapkan oleh syara’. Munasib mursal berupa sesuatu yang
nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan
kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara’
membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur’an atau
mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi
Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum
muslimin, yaitu al-Qur’an tidak lagi berserakan karena telah tertulis
dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan
terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur’an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh
syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan
atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu
syara’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau ‘illat tersebut,
bahkan syara’ memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut.
Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam
kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula
persamaan dalam warisan. Tetapi syara’ mengisyaratkan pembatalannya
dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian
perempuan.
3. Musâlikul ‘illat (cara mencari ‘illat)
Musâlikul ‘illat, ialah cara atau metode
yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau
kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya;
b. Ijma’ yang menunjukkannya
c. Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
- Munasabah
- Assabru wa taqsîm
- Tanqîhul manath
- Tahqîqul manath
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang
menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshuh
‘alaih. Melakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash
pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu
kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua macam, yaitu
sharahah (jelas) dan ima’ atau isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam
nash kepada ‘illat hukum jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa
lafadh nash itu sendiri menunjukkan ‘illat hukum dengan jelas, seperti
ungkapan yang terdapat daIam nash : supaya demikian atau sebab
demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama
dalalah sharahah yang qath’i dan kedua ialah dalalah sharahah yang
dhanni.
Daialah sharahah yang qath’i, ialah apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada
alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu…”
(an-Nisâ’: 165)
Ayat ini menyatakan bahwa ‘illat diutus
para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah
agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka
belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka.
Perkataanli-allâ yakûna dan ba’darrasûl merupakan ‘illat hukum yang
pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya: “Aku melarang kamu menyimpan
daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul
(memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan,
simpanlah.” (HR. an-Nasâ’i)
Pada hadits di atas diterangkan ‘illat
Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu
karena banyak orang yang memerlukannya. ‘Illat larangan menyimpan daging
kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari
li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah
apabila penunjuk nash kepada ‘illat hukum itu adalah berdasar dengan
keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada ‘illat hukum yang
lain. Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
“Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam.” (al-Isrâ’; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
“Maka disebabkan kedhaliman orang-orang
Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka” (an-Nisâ’: 160)
Pada ayat pertama terdapat
huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ’ pada perkataan
fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah,
sedang al-bâ’ berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua
arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras
bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka
akan memperjelas arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima’ (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat
yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang
menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya
suatu hukum Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian,
maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah
ima’, diantaranya ialah:
- Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari contoh di atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi ‘illat dilakukan sujud sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan ‘illat untuk memerdekakan budak.
- Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya: “Seseorang tidak boleh memberi
keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang
marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa
sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara
dua orang berperkara yang merupakan ‘illat dari larangan mengadili
perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua bagian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
“…Dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu,
maka kepada mereka berikanlah upahnya…” (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil
menjadi syarat (‘illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang
ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat (‘illat) pemberian upah
menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“…dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci.”(al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas (‘illat) kebolehan suami mencampuri isteri.
f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah
menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah…” (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian (‘illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak)
A. Ulama Dan Umara Dalam Perspektif Al-Qur’an
Ulama dan umara adalah pasangan pemuka
masyarakat yang utama. Ulama, kosakata bahasa Arab, bentuk jamak dari
kata alim. Artinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, orang pandai.
Dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal; orang yang ahli ilmu
agama Islam. Kata ulama sepadan dengan ulul albab dalam Al-Qur’an; orang
yang arif. Umara, bentuk jamak dari kata amir, artinya pemimpin,
penguasa. Kosakata amir sepadan dengan ulul amri dalam Al-Qur’an yang
artinya orang yang mempunyai pengaruh, kekuasan; orang yang memangku
urusan rakyat; penguasa.
Kata ulama terdapat dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’ara‘ dan Fathir berikut. “Bukankah itu suatu bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil sudah mengetahuinya sebagai suatu kebenaran?” (Asy-Syu’araa‘ [26]: 197).
Konteks ayat di atas bahwa banyak kalangan ulama Yahudi yang mengakui ajaran Nabi Muhammad saw itu ajaran yang datang dari Allah SwT, seperti Abdullah bin Salam dan Mukhayriq. Yang disebut terakhir ini orang kaya, yang mewariskan segala kekayaannya untuk Islam.
Konteks ayat di atas bahwa banyak kalangan ulama Yahudi yang mengakui ajaran Nabi Muhammad saw itu ajaran yang datang dari Allah SwT, seperti Abdullah bin Salam dan Mukhayriq. Yang disebut terakhir ini orang kaya, yang mewariskan segala kekayaannya untuk Islam.
“Dan demikian pula di antara manusia,
binatang melata dan hewan ternak, terdiri dari berbagai macam warna.
Sungguh yang benar-benar takut kepada Allah di antara hamba- hamba-Nya,
hanyalah ula- ma; mereka yang berpengetahuan. Sungguh Allah Maha
Perkasa, Maha Pengampun. (Fathir [35]: 28).
Hanya mereka yang mempunyai pengetahuan
mendalam yang tahu bahwa takut kepada Allah adalah permulaan dari suatu
kearifan. Karena rasa takut demikian sama dengan penghayatan dan cinta, –
penghayatan akan semua keindahan dunia lahir dan dunia batin yang
sungguh luar biasa (“Allah Maha Perkasa”), dan penuh cinta karena rahmat
dan kasih sayang- Nya (“Maha Pengampun”). Kata ulul albab terdapat
dalam surat Al-Baqarah berikut.
“Allah memberi hikmah kepada siapa
yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa diberi hikmah, ia telah
memperoleh kebaikan melimpah; tetapi yang dapat mengambil pelajaran
hanya orang yang arif.” (Al-Baqarah [2]: 269)
Para ulama adalah pewaris Nabi dan
penerus tugas-tugasnya di dunia, yakni membawa kabar gembira, memberi
peringatan, mengajak kepada Allah dan memberi cahaya.
“Wahai Nabi! Sungguh Kami mengutus
engkau sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan
izin-Nya, dan sebagai pelita pemberi cahaya. Dan sampaikanlah berita
gembira kepada orang-orang beriman, bahwa mereka akan memperoleh
karunia yang besar dari Allah.” (Al-Ahzab [33]: 45-47)
Para ulama adalah penjaga gawang moralitas dalam segala aspek kehidupan umat, termasuk moralitas para penguasa.
“Allah telah membeli dari orang beriman jiwa raga dan harta mereka,
supaya mereka beroleh taman surga. Mereka berperang di jalan Allah;
mereka membunuh atau dibunuh. Itulah janji sebenarnya yang
mengharuskan-Nya, dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapa yang
lebih menepati janji daripada Allah? Bergembiralah dengan janjimu yang
telah kamu berikan. Dan itulah kemenangan yang besar. Mereka yang
bertobat kepada Allah, mereka yang mengabdi, mereka yang memanjatkan
puji, mereka yang mengembara di jalan Allah; mereka yang rukuk, mereka
sujud; mereka yang menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan dan
menjaga diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah; sampaikanlah berita
gembira kepada mereka yang beriman.” (At-Taubah [9]: 111-112)
“Seharusnya jangan semua kaum mukmin
berangkat bersama-sama: Dari setiap golongan sekelompok mereka ada yang
tinggal untuk memperdalam ajaran agama dan memberi peringatan kepada
golongannya bila sudah kembali, supaya mereka dapat menjaga diri.”(At-Taubah [9]: 122)
Ayat 122 di atas turun sebagai larangan
kepada kaum Mukminin untuk serta merta pergi ke medan perang untuk
berjihad seluruhnya, tapi harus ada yang menetap untuk memperdalam
pengetahuan agama untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila telah
kembali. Kata ulul amri terdapat dalam surat An- Nisa‘ berikut.
“Hai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul- Nya, kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat.” (An-Nisaa‘ [4]: 59)
“Hai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul- Nya, kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat.” (An-Nisaa‘ [4]: 59)
B. Hadits Hukum dalam Perspektif Ulama Fiqh dan Ulama Hadits
Di antara perwujudan besar dari tradisi
keilmuan Islam adalah terkumpulkan nya Hadits atau tradisi Nabi (enam
diantaranya ditulis pada abad ke-9 M) yang kemudian dianggap sebagai
sumber hukum Islam kedua sesudah – atau setara dengan- al-Qur’an. Dari
sumber itulah kemudian lahir produk-produk ijtihad dalam bentuk fiqih.
Berbagai penelusuran terhadap makna serta pesan Hadits Nabi dilakukan
oleh para ulama fiqih sesuai dengan kepentingan zaman dan tempatnya.
Sehingga pada tataran itulah, muncul variasi interpretasi yang
berbeda-beda. Perilaku, ucapan serta kesepakatan Nabi dipahami berbeda
oleh para ulama fiqih. Sebab, apa yang disandarkan kepada Nabi tidak
seluruhnyadapat dengan sederhana dipahami menurut makna tekstualnya.
Sementara itu ulama Hadits membela
otoritas teks-teks keagamaan dan kekuasaannyaatas setiap bidang
aktivitas kemanusiaan terutama hukum-hukum ibadah dan muamalah (fiqh).
Dengan demikian ketika kelompok hadis lebih memperhatikan teks dan
berkutat pada kesahihan hadits maka kelompok fiqh mempertahankan akal dengan mengembangkan konsep-konsep seperti maslahah mursalah, istihsan dan sebagainya. Perselisihan
antara ahlal-Hadits dan kaum rasionalis ini tak jarang sepanjang
sejarah pemikiran hukum islam diwarnai dengan cemooh kebencian dan
tuduhan- tuduhan yang berlebihan dari kelompok pertama terhadap kelompok
kedua, demikian pula sebaliknya.
- Ijtihad Dalam Persfektip Ulama
Ijtihad berasal dari kata jahada.
Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan.
Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan
ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang
bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum.
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa
ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’
yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari
tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan
tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang
tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum
melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam
permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu
sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga.
Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki
kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil
ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih
dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan
seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu
keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih
tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa
ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum
syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan
Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan
segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin
dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah
laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa
ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad
ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
- Ijma Menurut Persfektip Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan makna Ijma’ menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan
mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma’. Namun definisi Ijma’
yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli
ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam pada masa tertentu atas suatu perkara agama.
Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam
kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk keyakinan,ucapan dan perbuatan.
Penyebutan kata “para ulama ahli ijtihad” dalam definisi ini memberikan
makna kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma’. Karena kesepakatan
dan perbedaan mereka tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan
sebagian para ulama juga tidak bisa dianggap ijma.
Ijtihad, maksudnya pengerahan kemampuan
pikiran secara maksimal untuk menghasilkan putusan hukum.(berdasarkan
dalil-dalil syar’i,-red) Setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, (maksudnya Ijma’ itu terjadi setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat, -red). Karena Ijma’ pada masa hidup beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak dianggap, lantaran semua hukum diputuskan secara
langsung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui perantara
wahyu. Pada masa tertentu, ini memberikan penegasan bahwa Ijma’ tidak
harus muncul dari kesepakatan para ulama sepanjang masa hingga Kiamat,
bahkan hanya pada masa hidupnya para ulama ahli ijtihad pada saat
terjadinya masalah saja. Perkara agama, yaitu mencakup semua urusan yang
terkait dengan masalah syar’iyah,’aqliyah, ‘urfiyah dan bahasa. Maksud
umat adalah umat ijabah, atau mereka yang mengikuti ajaran dan Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, berarti umat dari
kalangan ahli bid’ah tidak termasuk kelompok ahli ijtihad.
Ijma’ tidak hanya terjadi pada zaman
tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi Ijma’ hanya terjadi
pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang
menukil dari Sulaiman bahwa tidak ada Ijma’ kecuali Ijma’ Sahabat . Ada
juga yang berpendapat bahwa Ijma’ bisa saja terjadi dalam masalah selain
hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang hanya membatasi
Ijma’ pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar
kecuali jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum
agama Islam.
9. PENJELASAN TENTANG USHUL FIQH SEBAGAI ALAT IJTIHADI
Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata,
yaitu ushul dan fiqh. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang berarti
pangkal, pokok, dasar dan lain sebagainya. Sedangkan fiqh, secara bahasa
berarti pemahaman. Secara istilah, fiqh adalah “Ilmu yang menjelaskan
hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali
melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Jumhur ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya sebagai berikut:
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang
berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.” Sedangkan
menurut Abul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas
Kairo Mesir menyatakan: Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan
metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
(amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah
dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah)
dari dalil-dalil yang terperinci. Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya
secara terperinci” dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil dari
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana yang menjadi dasar
penetapan hukum Islam. Inti ushul fiqh adalah seperangkat kaidah (metode
berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses
penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Pengetahuan fiqh adalah formulasi dari
nash syari’at yang berbentuk Al-Qur’an, Sunnah Nabi dengan cara-cara
yang disusun dalam pengetahuan ushul fiqh. Meskipun cara-cara itu
disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur’an dan
diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya
sudah mereka (para ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam
mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara
menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi
pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istilah yang digunakan oleh para
ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh ialah, suatu ilmu yang membicarakan
berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan
merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya,
kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu
hukum, kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil
ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, dirumuskan berbentuk “hukum Fiqh” (ilmu Fiqh) supaya dapat
diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau
sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau
statusnya dengan mempergunakan dalil.
Jadi, ilmu Ushul Fiqh pada hakekatnya
adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang memuat prosedur dan
teknik bagaimana hukum syari’at dapat dirumuskan untuk pedoman hidup dan
bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh meliputi:
- Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl’i (sabab, syarat, mani’, ‘illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
- Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
- Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum ‘alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
- Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
- Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
- Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
- Masalah adillah syar’iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-’urf, syar’u man qablana, bara’atul ashliyah, sadduz zari’ah, maqashidus syari’ah/ususus syari’ah.
- Masa’ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far’u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta’arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Ushul fiqh sebagai sebuah metode menjadi
jawaban atas berbagai perbedaan yang mengakibatkan pertentangan di
masyarakat. Pada tingkatan atau level tertentu, pembelajaran ushul fiqh
menjadi hal yang penting adanya. Pengetahuan dan pemahaman ushul fiqh
menjadi jalan untuk terbukanya kembali pintu ijtihad. Namun sebagaimana
fiqh, ushul fiqh pun memiliki aliran-aliran karena para ulama tidak
selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu pengertian
dan dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya.
Dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran
Mutakallimin dan Aliran Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam
pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu
kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat
baik naqliy (dengan nash) maupun ‘aqliy(dengan akal fikiran) tanpa
terikat dengan hukum furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai
atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-hukum furu’ tersebut tidak menjadi
persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golonganMu’tazilah,
Malikiyah, dan Syafi’iyah.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam
pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari
imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu
berdasarkan kepada hukum-hukum furu ‘ yang diterima dari imam-imam
mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu’
yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian
rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut. Jadi para ulama
dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum
furu’ yang diterima dari imam-imam mereka.
10. PENJELASAN TENTANG SYARI’AT DAN FIQH
Islam sebagai agama dan suatu sistem
hukum sering disalahfahami bukan hanya oleh orang-orang non muslim saja,
tetapi juga oleh orang-orang Islam itu sendiri. Sebagai suatu suatu
sistem hukum, hukum Islam dipelajari dan dikembangkan oleh para pemikir
(ilmuan) Islam sehingga ia menjadi disiplin ilmu yang mandiri.
Konsekwensi sebagai suatu satu disiplin ilmu, hukum Islam mengembangkan
istilah-istilahnya sendiri sebagai disiplin ilmu yang lain. Oleh karena
itu dalam studi hukum Islam seringkali dijumpai istilah-istilah fiqh,
syari’at dan hukum Islam.
A. Syari’at
Istilah syari’ah merupakan kata yang
lumrah beredar di kalangan masyarakat Muslim dari masa awal Islam, namun
yang mereka gunakan selalu syara’i (bentuk jama’) bukan syari’at
(bentuk mufrad). Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa orang-orang yang baru
masuk Islam dan datang kepada Rasulullah dari berbagai pelosok Jazirah
Arab, meminta kepada Rasulullah agar mengirim seseorang kepada mereka
untuk mengajarkan syara’i Islam. Sedangkan istilah syari’ah
hampir-hampir tidak pernah digunakan pada masa awal Islam. Dari
perkembangan makna, istilah syari’at ini diperkenalkan dengan perubahan
makna yang menyempit untuk membawakan makna yang khusus, yakni ”Hukum
Islam” pada masa kemudian.
Syari’ah adalah kosa kata bahasa Arab
yang secara harfiah berarti ”suber air” atau ”sumber kehidupan”, dalam
Mukhtar al-Shihah diungkapkan sebagai berikut: Syari’ah adalah sumber
air dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syari’ah juga
sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT kepada hamba-Nya berupa agama
yang telah disyari’atkan kepada mereka. Orang-orang Arab menerapkan
istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap
dan diberi tanda yang jelas terlihat mata. Jadi, kata demikian ini
berarti jalan yang jelas kelihatan atau ”jalan raya” untuk diikuti.
Al-quran menggunakan kata syir’ah dan syari’ah dalam arti agama, atau
dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Istilah
syara’i (bentuk jamak) digunakan pada masa Rasulullah dengan arti
masalah-masalah pokok Islam. Orang-orang Arab Badwi yang meminta kepada
Nabi agar mengutus seseorang untuk mengaji mereka syara’i Islam atau
masalah-masalah pokok agama. Mereka ingin mempelajari dasar-dasar dan
kewajiban-kewajiban dalam Islam. Asumsi ini diperkuat oleh Hadits yang
menyatakan bahwa Rasulullah ketika ditanya mengenai syara’i Islam beliau
menyebutkan bahwa syara’i Islam itu adalah Sholat, Zakat, Puasa di
bulan Ramadhan dan Haji. Dari sini terlihat bahwa istilah syara’i
berarti faraidh (kewajiban-kewajiban).
Sedangkan istilah syari’ah dalam konteks
kajian hukum Islam lebih menggambarkan norma-norma hukum yang merupakan
hasil dari proses tasyri’, yaitu proses menetapkan dan membuat syari’ah.
Lebih lanjut terminologi syari’at dalam kalangan ahli hukum Islam
mempunyai pengertian umum dan khusus. Syari’at dalam arti umum merupakan
keseluruhan jalan hidup setiap muslim, termasuk pengetahuan tentang
ketuhanan. Syari’at dalam arti ini sering disebut dengan fiqh akbar.7〉
Sedangkan dalam pengertian khusus berkonotasi fiqh atau sering disebut
dengan fiqh asghar, yakni ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman
seorang muslim yang memenuhi syari’at tertentu tentang Al-Qur’an dan
al-Sunnah dengan menggunakan metode ushul Fiqh. Berdasarkan pengertian
syari’ah itulah terbentuk istilah tasyri’ atau tasyri’ Islamiy yang
berarti peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan
dan prinsip-prinsip yang terkadung di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Peraturan perundang-undangan tersebut terumuskan ke dalam dua bagian
besar, yakni bidang akidah (ibadah) dan bidang muamalah. Kedua pembagian
tersebut diperluas menjadi:
Akidah : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keyakinan.
Ibadah : berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai hubungan langsung antara manusia dengan Allah.
Mu’amalah : berisi tentang
ketentuan-ketentuan mengenai hubungan dengan sesama manusia seperti jual
beli, kerjasama, perjanjian, dll.
Munakahat : berisi tentang
ketentuan-ketentuan yang berkaitan mengenai hubungan seseorang dalam
keluarga seperti nikah, thalak, nafkah dll.
Jinayat : berisi tentang
ketentuan-ketentuan yang berkaitan pidana seperti, qishash, diyat,
kifarat, zina, pembunuhan dll.
Siyasah : berisi tentang
ketentuan-ketentuan yang menyangkut masalah sosial politik seperti
musyawarah, perdamaian, keadilan, kepemimpinan, dll.
Akhlak : berisi tentang
ketentuan-ketentuan yang berkaitan sikap, hidup pribadi seperti syukur,
qanaah, istiqomah, dll.
Fiqh ibadah meliputi aturan puasa, zakat,
haji dan sebagainya yang ditujukan untuk mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhannya. Adapun Fiqh Muamalah diantaranya mengatur
tentang perikatan, sangsi hukum. Dan aturan selain yang diatur dalam
fiqh ibadah dan bertujuan untuk mengatur subjek hukum baik secara
indiviual maupun secara komunal.
B. Fiqh/Fikih
Fiqh secara harfiah bearti memahami atau
mengerti tentang sesuatu, dan dalam pengertian ini fiqh dan fahm adalah
sinonim. Dalam kitab Mukhtar as-Shihhah diungkapkan sebagai berikut :
Kata fiqh pada mulanya oleh orang-orang
arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu
membedakan mana yang betina dan mana yang jantan. Dengan sendirinya,
ungkapan fiqh dikalangan mereka sudah lumrah digunakan.9〉 Dari ungkapan
ini, dapat diberi pengertian ”pemahaman dan pengertian yang mendalam
tentang suatu hal”. Al-Qur’an menggunakan kata fiqh dalam pengertian
”memahami” secara umum sebanyak 20 kali. Ungkapan al-Quran (agar mereka
melakukan pemahaman dalam agama), menujunkkan bahwa di masa Rasul
istialh fiqh tidak hanya digunakan dalam pengertian hukum saja, tetapi
mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek kehidupan dalam
Islam, baik theologis, ekonomis dan hukum.
Pada periode awal kita temukan sejumlah
istilah seperti fiqh, ‘ilm, iman, tauhid, tazkir dan hikmah, yang
digunakan dalam pengertian yang sangat luas, tetapi dikemudian hari arti
yang banyak itu menyatu dalam pengertian yang sangat sempit dan khusus.
Alasan terjadinya perubahan ini adalah karena masyarakat muslim semasa
hidup Rasul tidaklah komplek dan beraneka ragam sebagaimana tumbuh
berkembangnya Islam kemudian. Pada masa awal Islam istilah fiqh dan ilm
sering digunakan bagi pemahaman secara umum. Rasul pernah mendoakan Ibnu
Abbas dengan mengatakan (ya Allah berikanlah dia pemahaman dalam
agama). Dari statemen tersebut bisa kita tangkap bahwa maksud dari
pemahaman tersebut adalah bukan hanya bidang hukum semata, melainkan
juga pemahaman tentang Islam secara luas.
Berdasarkan pengertian etimologis inilah
bahwa terminologi fiqh berarti memahami dan mengetahui wahyu (baik
al-Quran maupun al-Sunnah) dengan menggunakan penalaran akal dan metode
tertentu sehingga diketahui bahwa ketentuan hukum dari mukallaf (subjek
hukum) dengan dalil-dalil yang rinci. Metode yang digunakan untuk
mengetahui dan memahami ketentuan hukum ini kemudian menjadi disiplin
ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ushul fiqh, yang dapat diterjemahkan dengan teori hukum Islam. Usul fiqh memuat
prinsip-prinsip penetapan hukum berdasarkan qaidah-qaidah kebahasaan
(pola penalaran bayani), qaidah yang berdasarkan rasio (penalaran
talili) dan qaidah pengecualian (penalaran istihsani).
11. PENJELASAN TENTANG ISLAM HISTORIS DAN ISLAM IDEAL
A. Islam Historis
Dalam pemahaman kajian Islam historis,
tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa
berubah. Mereka berprinsip: bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk
pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka
menolak universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat
yang sama, kaum gender ini justru menjadikan konsep kesetaraan gender
sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Paham inilah
yang dijadikan sebagai parameter dalam menilai segala jenis hukum
Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan.
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan.
Dalam pemahaman kajian islam historis,
tidak ada konsep atau hukum islam yang bersifat tetap semua bisa
berubah. Kaum historis memiliki pemahaman tentang hukum islam yang mana
hukum islam itu adalah produk dari pemikiran ulama yang muncul karena
konstruk social tertentu. Dalam kajian islam historis ditekankan aspek
relitivitas pemahaman keagamaan. Pemahaman manusia terhadap ajaran
agamanya adalah bersifat relatif dan terkait dengan konteks budaya
social tertentu. Kajian islam historis melahirkan tradisi atau disiplin
studi empiris: antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan
sebagainya.
- Antropologi agama: disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
- Sosiologi agama: disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama
- Psikologi agama: disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama
- B. Islam Ideal
Islam Ideal adalah islam pada dimensi
sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan
universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas
ke-Tuhan-an. Islam historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari
kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu.
Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya
realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an.
Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan doktrinal teologis. Sedangkan historisitas keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun antropologis.
Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan doktrinal teologis. Sedangkan historisitas keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun antropologis.
Sebuah pendekatan yang lebih menekankan
aspek normatif dalam ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Alqur’an
dan Sunnah. Dalam pandangan islam normatif kemurnian islam dipandang
secara tekstual berdasarkan Alqur’an dan Hadits selain itu dinyatakan
bid’ah. Kajian islam normative Melahirkan tradisi teks :tafsir, teologi,
fiqh, tasawuf, filsafat.
- Tafsir: tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci.
- Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
- Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
- Tasawuf : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
- Filsafat : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan
- 12. PENJELASAN TENTANG ISLAM TRADISIONAL DAN KONTEKSTUAL
Islam adalah agama samawi yang diturunkan
Allah melalui Nabi Muhammad SAW yang ajarannya terdapat dalam Al-Qur’an
dan Sunnah dalam bentuk perintah, larangan serta petunjuk untuk
kebaikan manusia. Islam memiliki syariat-syariat yang diturunkan Allah
kepada umat manusia untuk dijalankan dan bertujuan mencapai
kemaslahatan. Ajaran Islam juga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
seperti akidah / teologi, ibadah, hukum, tasawuf, filsafat, ekonomi,
sosial, politik dan pembaruan.
A. Tekstual dalam pandangan Al-qur’an
Teks adalah tulisan yang membuahkan arti
atau pengertian. Dipandang secara tekstual, Al Qur’an adalah merupakan
kumpulan firman – firman Tuhan sebagaimana wahyu yang diterima oleh Nabi
Muhammad.
Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab,
merupakan kesempurnaan ajaran yang tersusun dalam bahasa sastra, berupa
syair – syair metaforik yang sangat indah, yang tak mungkin manusia
mampu membuat tandingannya. Dalam banyak hal merupakan pokok –pokok atau
dasar – dasar ajaran moral, yang pelaksanaannya harus dijalankan sesuai
petunjuk Rasulullah (Sunnah Rasul), sebagaimana tertuang dalam Hadits.
Kemurnian, kesempurnaan serta kesucian Al
Qur’an, diyakini akan selamanya terjaga, sebagaimana dijanjikan oleh
Tuhan, dan untuk menjaga kemurnian, kesempurnaan serta kesuciannya,
kaidah – kaidah serta metodologi yang absah (salaf as sahih) harus
dilakukan dalam menafsirkannya, sehingga pemahamannya tidak menyimpang
dari apa yang jelas – jelas terkandung dalam suratan (tertulis sebagai
skrip) ayat – ayat nya.
Ayat – ayat Al Qur’an selain merupakan
syair – syair yang indah, diyakini memiliki kekuatan, yang apabila
dilafalkan dengan khusuk, maka akan menggetarkan jiwa yang melahirkan
kesadaran akan kehadiran Tuhan, Sang Khalik Yang Maha Kuasa.
Karena itu, teks Al Qur’an dipandang sebagai sumber hukum
tertinggi bagi umat Islam, yang tak dapat dilepaskan dari keberadaan
Hadits sahih sebagai petunjuk pelaksanaannya, yaitu Hadits yang
diriwayatkan secara benar oleh para sahabat Nabi yang diakui kemampuan
serta integritasnya.
B. karakteristik islam kontekstual
Islam merupakan sebuah ajaran agama yang
tumbuh pertama kali didunia timur tengah beberapa abad yang lalu. Islam
sebagai suatu agama yang mengandung berbagai ajaran sosial, ekonomi,
hukum, akhlak merupakan pegangan umatnya yang harus diterima dan
diamalkan secara seksama. Islam mampu berkembang dan menyebar keseluruh
penjuru dunia hanya dalam beberapa dekade saja. Islam bukanlah
satu-satunya agama didunia yang paling benar, tapi islam berusaha
memberikan ajaran yang Rahmatanlilalamin yang tidak dimiliki oleh ajaran
agama lainnya. Islam banyak memberikan kelonggaran dalam syariat agama
bagi umatnya disesuaikan situasi dan kondisi mereka saat itu karena
islam bukanlah agama otoriter dan pemaksaan.
Dalam perkembangan dunia islam pada umumnya terbagi dalam dua tahap yaitu :
1. Islam Tradisional
Tradisi bisa berarti addin yang mencakup
semua aspek agama dan percabangannya atau assunah berdasarkan pada model
sakral yang sudah menjadi tradisi, bisa juga berarti Al-Silsilah.
rantai yang mengkaitkan setiap periode episode atau tahap kehidupan dan
pemikiran. Jadi Islam tradisional menerima Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan
baik kandungan maupun bentuknya, menerima komentar-komentar tradisional
yang linguistik, historical, sapiental dan metafisikal atas Al-Qur’an.
Islam tradisional menginterprestasikan bacaan suci bukan berdasarkan
makna literal dan eksternal tapi sesuai tradisi hermeunitik yang
mempertahankan syariah sebagai hukum Illahi sehingga seluruh moralitas
diturunkan dari Al-Quran dan hadits . Kadang kala Islam tradisional
bertentangan dengan interprestasi modernis dan fundamentalis karena
Islam tradisional menentang pencapaian kekuasaaan duniawi atas nama
Islam dengan melupakan anjuran Islam sekalipun dunia terus berputar
menuju keperadapan yang lebih tinggi. Islam tradisional akan tetap eksis
dalam gerakan intelektual artistic klasik, cendekiawan dan orang suci
yang setia menempuh jalan Nabi.
2. Islam Kontemporer
Sementara pada abad ke 19 banyak
gagasan–gagasan barat tentang kemajuan dan pembangunan diterima secara
luas dan merata dikalangan penguasa dunia Islam tanpa melakukan analisis
secara obyektif sesuai norma-norma Islam yang mereka pegang. Hal ini
berimplikasi pada merosotnya moral, keyakinan dan syariat umat Islam
terhadap kemurnian ajaran agama yang selama masa tradisional mereka
pegang teguh hanya untuk mengejar arus modernisasi dunia. Dari
kebahagiaan semata manusia diera ini lebih memikirkan masa depan
kehidupan dunianya dengan menempuh berbagai cara sesuai potensi SDM yang
dimiliki dan menomerduakan hukum-hukum agama. Memang kalau dipandang
sekilas umat Islam menjadi lebih mapan dan mampu bersaing dengan dunia
non- Islam sehingga dipandangan dunia, umat Islam bukanlah umat yang
lemah dan ketinggalan peradapan. Namun dibalik semua itu umat Islam
harus mengorbankan keyakinan ajaran agama yang seharusnya dijadikan
pegangan dalam berperilaku. Bukannya kemajuan peradapan Islam yang
modern tapi moral umat Islam yang semakin jauh dari norma-norma agama.
Setidaknya diera Islam kontemporer terdapat tiga gerakan Islam yang
bersekala luas, antara lain Revivalisme, sebagai reaksi dimulainya
ekspansi kolonial eropa abad ke 18 dan 19, kemudian muncul gerakan
Reformisme Islam sebagai pengganti Refifalisme yang tidak berhasil
mencapai tujuan jangka panjangnnya baru setelah itu
munculIslamfundamental.
Langkah dalam mengkaji gerakan ini adalah
harus selalu mencermati bahwa dunia Islam sangat besar dan beragam,
lebih dari 800 juta kaum muslim diseluruh dunia dan sebagian besar
dibenua asia khusunya di Indonesia yang mencapai 190juta muslim.
Indonesia bukanlah negara Islam tapi mayoritas penduduknya 90% adalah
umat Islam sekaligus sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbanyak
didunia. Ironisnya sebagai negara mayoritas penduduknya muslim apakah
umat Islam Indonesia sudah menjalankan semua syariat agama serta mampu
mengembangkan peradapan Islam modern berbasis teknologi dengan potensi
SDM yang unggulan demi kejayaan dan kemakmuran Indonesia pada umumnya
dan Islam pada khususnya. Hal inilah yang belum mampu dicapai oleh
Negara-negara Islam diseluruh dunia sebagaimana yang pernah diungkapkan
Eric Hoffer pengarang The True Believer menyatakan belum ada negara
Islam yang berhasil menguasai produksi industri atau mewujudkan sesuatu
yang mendekatinya dengan membandingkan apa yang telah dicapai oleh
Jepang, Taiwan, Korsel, Singapura, Hongkong dan India.
- 13. PENJELASAN TENTANG ISLAM FANATIS DAN ISLAM LIBERAL
- A. Islam Fanatis
Fanatisme atau ta’asshub ialah
kepercayaan membabi buta terhadap suatu ajaran dan menolak pendapat lain
daripada yang dianut. Kita seringkali mendengar anjuran orang,
janganlah fanatik atau ta’asshub, artinya janganlah memegang kepercayaan
sendiri dengan cara membabi-buta. Kerap kali kita dengar orang salah
mengartikan ta’asshub itu. Dikiranya ta’asshub memegang teguh pendirian
dengan pengertian. Pendirian yang teguh dengan pengertian bukanlah
fanatisme atau ta’asshub, tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan
perasaan tanggung jawab yang penuh. Umat Islam zaman dulu tidak
mengenal perkataan ta’asshub. Islam adalah demokratis, tidak takut pada
pendapat orang lain yang berlainan dari padanya. Tidak ada buku yang
lebih demokratus daripada al-Qur’an. Lihatlah, didalam al-Qur’an dimuat
ayat: “Wa yaquluna innahu lamajnuun” (mereka, lawan Muhammad, mengatakan
bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah gila). Ayat itu dipertontonkan
al-Qur’an pada umat Islam dengan pengharapan supaya dapatlah mereka
melihat bahwa otak manusia itu ada juga yang demikian tololnya setelah
kehabisan hujjah (argumen) di dalam bertukar pikiran lalu memakai
kata-kata kotor dan maki-makian.
Timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme)
didalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat merasa tidak dapat
menembus keteguhan pendirian umat Islamdengan cara hujjah (argumen) lalu
mencari akal menuduh umat Islam adalah fanatik (ta’asshub). Sungguh
amat sayang sekali diantara umat Islam ada yang tertipu dengan perkataan
tadi. Dikiranya bahwa keteguhan mereka memegang pendirian yang
didasarkan pada pengertian itu adalah fanatisme (ta’asshub), lalu mulai
segan memegang pendiriannya menghadapi orang barat. Mereka ini tidak
insaf bahwa tindakan fanatik yang dikenakan orang barat pada Islam itu
adalah akal-akalan dan tipuan semata-mata. Bukan mereka sendirikah
(orang Barat) fanatikn terdapat adat kebiasaan, kepercayaan, terutama
untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sungguh luar biasa
sekali? Jadi tuduhan orang barat melemparkan kata-kata fanatik pada umat
Islam itu semata-mata seperti siasat perang dengan mengadakan
tembakan-tembakan pancingan pada benteng-benteng lawan, agar dari
benteng tadi keluar tembakan-tembakan, dan dengan demikian dapat
diketahui mana-mana tempat yang lemah.
Tetapi yang lebih celaka lagi ialah
perpecahan yang ditimbulkan oleh racun yang dinamakan fanatisme
(ta’asshub) tadi dikalangan kaum Muslimin sendiri. Oleh karena salah
pengertian terhadap arti fanatisme dengan makna kepercayaan membabi-buta
dan menolak pendapat-pendapat yang berlainan dari padanya, dengan makna
yang salah yaitu memegang teguh pendirian dengan pengertian, oleh
karena salah pengertian itulah maka timbul segolongan dikalangan kaum
Muslimin yang bergembar-gembor: janganlah fanatik, janganlah ta’asshub.
Dan oleh karena itu lalu mulailah dikalangan Muslimin timbul dua
golongan yang berlainan pendapat, satu golongan yang teguh memegang
pendiriannya dengan pengertian. Mereka ini oleh golongan lainnya juga.
“Modern” dicap fanatik. Sedang golongan yang “modern” ini makmum pada
orang-orang barat dengan pendirian teguh pula. Sebenarnya mereka ini
juga fanatik, tetapi tidak pada Islam, hanya ada barat. Akan tetapi
mereka tidak suka dinamakan fanatik, dan menamakan diri “modern”,
“progressif”: padahal sebenarnya mereka adalah fanatik, lebih keras
daripada fanatiknya pihak yang pertama tadi. Jadi “fanatik” lawan
fanatik timbul dikalangan umat Islam sendiri.
Dalam pada itu yang untung ialah orang
barat yang mengemudikannya. Kalau kita pikirkan betul-betul, maka
perumpamannya tuduhan fanatik (ta’asshub) pada umat Islam itu adalah
didasarkan pada theori vaccinatie (menyuntik) penyakit didalam badan
dengan kutu-kutu yang sama: maksudnya ialah supaya kutu-kutu penyakit
yang masih tahan kuat lagi tidak fanatik atau “progressif”?. Kasihan
bangsa-bangsa jajahan yang dikomedikan, sehingga berkelahi segolongan
melawan segolongan yang lainnya. Walaupun begitu masih juga mereka suka
dikomedikan orang! Mudah-mudahan hal ini dinsafi oleh kaum Muslmin.
B. Islam Liberal
Liberalisme, adalah sebuah istilah asing
yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti kebebasan. Kata ini
kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte”
menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas. [1] Istilah ini datang
dari Eropa. Para peneliti, baik dari mereka ataupun dari selainnya
berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun seluruh definisi,
kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World
Book Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini
dianggap masih samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya
berubah dalam bentuk tertentu dengan berlalunya waktu.
Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan,
liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan
individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan
individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga
dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan
menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan
individu, dan sejenisnya.
Asas Pemikiran Liberal
Secara umum asas liberalisme ada tiga.
Yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani, mendewakan akal).
Asas Pertama, Kebebasan : Yang dimaksud dengan asas ini, ialah setiap
individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur.
Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri, dan
tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian, liberalisme
merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan
membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan
kebebasan kepada manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan
berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia menjadi
tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari
hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ
أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam,
tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.
[al-An’âm/6:162-163]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat
itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18]. Asas Kedua, Individualism (al-fardiyah)
: Dalam hal ini meliputi dua pengertian. Pertama, dalam pengertian
ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang
menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga
abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini
merupakan pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan
pragmatisme. Asas ketiga, yaitu rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan
akal). Dalam artian akal bebas dalam mengetahui dan mencapai
kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.
Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini:
1. Kebebasan adalah hak-hak yang
dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi yang dapat
disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca
indera dan percobaan.
2. Negara dijauhkan dari semua yang
berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak
adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat
sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada.
Sehingga –enurut mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak
mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan sesuatu. Ini
dinamakan ideology toleransi (Mabda’ at-Tasâmuh) [6]. Hakekatnya adalah
menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk
berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh
mengkafirkannya walaupun ia seorang mulhid (menentang Allah dan
RasulNya). Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dalam hal ini, sebab
negara –versi mereka terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap
orang. Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab
pemikiran yang ada. (Musykilah al-Hurriyah hal 233 dinukil dari Hakekat
Libraliyah hal 24). Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada
perkara kasat mata. Sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan
tidak dapat dijadikan sumber ilmu. Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan
kabiran (Maha Tinggi Allah dari yang mereka ucapkan).
3. Undang-undang yang mengatur
kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan –versi seluruh kelompok
liberal – adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal
yang merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hukum mereka dalam
undang-undang dan individu adalah akal.
Islam Dan Liberal
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa
Liberal hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun di atas
sikap berpaling dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada
ajaran dan petunjuk Allah dan rasulNya n serta menghalangi manusia dari
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga memerangi orang-orang sholih dan
memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran dan kebejatan
moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah kebebasan yang
hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan. Lalu bisakah Islam
bergandengan dengan Liberal?
Upaya Menyatukan Islam & Liberal
Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh
kaum muslimin melalui para penjajah kolonial. Kemudian disambut
orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu.
Muncullah dalam tubuh kaum muslimin madrasah al-Ishlahiyah (aliran
reformis) dan madrasah at-tajdîd (aliran pembaharu) serta al-’Ashraniyûn
(aliran modernis) yang berusaha menggandengkan Islam dengan liberal
ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para orientalis di
negara-negara Eropa. Upaya menyatukan liberalisme ke dalam Islam sudah
dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan Muhammad ‘Abduh dan para
muridnya. Kemudian pada tahun enampuluhan, muncullah gerakan pembaru
(madrasah attajdid) dengan tokoh seperti Rifa’ah ath-Thahthawi dan
Khairuddîn at-Tunîsi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu. Namun mereka
menggabungkan ajaran Islam dengan modernisasi Barat dan merekonstruksi
ajaran agama agar sesuai dengan modernisasi Barat (orang-orang kafir).
Oleh karena itu, pemikiran mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan
mereka terhadap modernisasi di Barat dan kemajuannya yang terus
berkembang. Demikian juga, mereka sepakat menjadikan akal sebagai sumber
hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam ajaran Liberal.
Dari sini jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki
prinsip dan latar belakang serta orientasi pemikiran yang berbeda-beda.
Meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika akal daripada
al-Qur‘ân dan Sunnah dan pengaruh kuat pemikiran Barat.
Ada di antara mereka yang secara terus
terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan Islam karena terpengaruh
pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang
berusaha memunculkan keraguan ke dalam tubuh kaum muslimin dengan
berbagai istilah bid’ah yang sulit dicerna pengertiannya. Atau dengan
cara membolakbalikkan fakta dan realitas ajaran Islam sejati dengan
pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan menyimpang
sebagai pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para
ulama Islam ditempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif dan
tidak tahu hak asasi manusia.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah
ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang kembali merujuk nash
syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Prof. Fahmi
Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh
(Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at)
menggambarkan hal tersebut sebagai paganism baru (Watsaniyah jadîdah).
Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung
berhala semata. Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun
paganisme zaman ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan symbol dan
rumus pada penyembahan nash-nash dan ritualisme. [Lihat Al-’Aqlaniyûn
Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn hal.63]
Sebenarnya hakekat usaha mereka ini
adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran dan pola pemikiran
Barat (westernisasi) dan menghilangkan aqidah Islam dari tubuh kaum
muslimin serta memberikan jalan kemudahan kepada musuh-musuh Islam dalam
menghancurkan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal
dan demokrasi adalah perkara mendesak dan sangat cocok dengan hakekat
Islam dan ajarannya serta tidak mengingkarinya kecuali fondamentalis
garis keras.
Demikianlah usaha mereka ini akhirnya
menghasilkan penghapusan banyak sekali pokok-pokok ajaran Islam dan
memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran Islam
dan aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb
menyatakan: “Reformasi adalah program utama dari liberalisme Barat. Kita
tinggal menunggu saja semoga orientasi tersebut dari kalangan reformis
bisa menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-nilai
liberalisme dan humanisme”.[Menjawab Modernisasi Islam hal 178]
Demikianlah nilai-nilai dan pemahaman
liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah
l darinya dan dari semua penyeru ajaran ini.
Liberal Dalam Pandangan Hukum Islam
Liberalisme adalah pemikiran asing yang
masuk ke dalam Islam. Pemikiran ini menafikan adanya hubungan kehidupan
dengan agama sama sekali. Pemikiran ini menganggap agama sebagai rantai
pengikat kebebasan hingga harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan
pemikir liberal yang menyusun pokok-pokok ajarannya membentuk liberal
berada diluar garis seluruh agama yang ada dan tidak seorangpun dari
mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan satu agama tertentu
walaupun yang menyimpang. Sehingga Liberalisme sangat bertentangan
dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-Islaman yang terkandung
dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya:
- Kekufuran
- Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala
- Menghilangkan aqidah al-Wala dan bara’.
- Menghapus banyak sekali ajaran dan hukum Islam.